BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma
Dalam pemaknaan kata “ paradigma “ mengandung arti model pola skema. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model atau pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan.
Landasan filosofis mengandung arti “ the love for wisdom “ menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of wisdom -lover of succes - lover of pleasure. Sedangkan acuan pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural, macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
Dengan demikian paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal atau bangsa ) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup yang lebih baik.
Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
B. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Paradigm pendidikan masa depan di sini masih berbentuk paradigma pendidikan yang bersifat global, dalam artian masih belum jelas isi dari pada paradigma pendidikan masa depan itu sendiri. Diantara isi dari pada paradigma pendidikan masa depan adalah Praktek Pendidikan Berwajah Ke-Indonesia-an, Pendidikan berwawasan global, Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan, dan lain-lain.
Ø Praktek Pendidikan Berwajah Ke-Indonesia-an
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupan, yakni ; pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah di tetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, walaupun memiliki rencana dan program yang jelas, tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan baku dan tertulis[2].
Dengan mendasarkan konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan “enculturation”, suatu proses untuk mengantarkan seseorang hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat yang akan menimbulkan penyimpanagan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.
Ø Pendidikan Berwawasan Global
Krisis demi krisis milai dari moneter, ekonomi, politik, dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisai yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidkan harus dirancang ssedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[3]
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global.[4]
Ø Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara yang didunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pemdidikan merupakan penggerak utama ( prima mover ) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan didunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala sastra dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diwujudkan dalam kepercayaan yang tinggi pada “ akal “ dan teknologi,
Memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (developped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan untuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil amgka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan dikalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda “lampu-kuning” pada sistem pendidikan padsa negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat pada anggarn belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi “pengikut proses kemajuan”. Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia sedang berkembang.[5]
C. Macam-Macam Paradigma Pendidikan
Macam-macam paradigm pendidikan ada empat, yaitu :
1. Konservatisme
Kecenderungan politik bergantung pada sejarah dan perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan lembaga dan proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus mentaati tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga menerima nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar dan konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya[6].
2. Liberalisme
· Menekankan cara pemecahan masalah secara ilmiah
· Tujuannya menuntaskan masalah praktis
· Guru seharusnya memelihara dan memperbaiki tatanan sosial yang sudah ada
· Murid harus mampu memecahkan masalahnya sendiri
· Kaum liberal mendahulukan individu dari pada masyarakat
· Psikologis dikondisikan oleh sosial
· Psikologis adalah basis pembuktian benar-tidaknya pengetahuan
· Konsekuensi emosional tidak mungkin dipengaruhi secara kolektif
· Belajar mungkin berlangsung dalam matriks sosial, tetapi belajar selalu bersifat personal dan pribadi
· Kaum liberal memandang sekolah sebagai lembaga terbuka dan lebih kritis
3. Anarkisme
ü Lembaga pendidikan bekerja sama dengan proses-proses politis yang memerosotkan individu, sekedar “sekerup” kelompok, sekedar butiran kepribadian dalam seronce kesosialan.
ü Pemerosotan martabat manusia secara sistematis.
ü Pendidikan adalah proses belajar lewat pengalaman sosial.
ü Sekolah mengabaikan tanggung jawab mendidik siswa secara sejati
4. Fundamentalisme
§ Dalam pendidikan mengambil bentuk gerakan “kembali ke dasar”
§ Gerakan ini memusatkan pada suatu sasaran tertentu, seperti mengembalikan pendidikan pada “Tiga R”, yairu Read, Write, dan Arithmatic
§ Jam sekolah mengutamakan pelajaran bahasa nasional, sains, matematika, dan sejarah
§ Pendidik harus mengambil peran dominan
§ Pengajaran menggunakan sistem menghapal, PR, ujian dilaksanakan sesering mungkin
§ Rapor dibagikan sesering mungkin dengan indeks prestasi
§ Disiplin harus ketat
§ Kelulusan berdasrkan serangkaian tes-tes untuk mengetahui tingkat ketrampilan dan pengetahuan
§ Permainan dan ketrampilan diberikan di luar jam sekolah
§ Menghapus bidang studi pilihan dan meningkatkan yang wajib
§ Menolak inovasi dan menekankan pada konsep
§ Program layanan sosial di sekolah menyita waktu sekolah
§ Memasukkan “patriotirme” dan nasionalisme di sekolah